PANGKALPINANG - Pada dasarnya jika kita amati ada 4 pola dinamika eksploitasi timah di suatu wilayah, yaitu ditolak secara keras, ditolak namun masyarakat masih terbelah, diterima namun masyarakat masih terbelah, dan diterima secara terbuka karena kompensasi dianggap memadai. Dinamika ini terjadi karena disparitas kebutuhan suatu masyarakat relatif berbeda, cara bernegosiasinya yang kurang baik, dan karena adanya pengelompokkan kepentingan yang tajam.
Butuh Kearifan
Benturan terjadi ketika dialog tidak menemukan jalan tengah dengan dua posisi dilematis, ada konsesi ijin penambangan yang dimiliki perusahaan, dan ada masyarakat lokal yang memiliki kedaulatan sosial-teritorial atas wilayah tersebut. Kepentingan ekonomi menjadi agenda bersama yang sulit bertemu diantara keduanya. Tapi kira-kira begini, ada pihak yang harus menahan diri dan ada pihak yang harus mengulur rentang kebijakan menjadi lebih proporsional.
Saya berandai-andai bahwa perusahaan, apalagi plat merah, tetap benefit menjadi kata kunci, tapi ada tantangan lain yang harus dijawab yakni bagaimana tetap memperhatikan kepentingan masyarakat lokal sebagai pertimbangan utama. Menurut saya, PT Timah harus memainkan peran tengah antara negara c.q. perusahaan dengan masyarakat. Sesungguhnya manapun yang didahulukan, keduanya sama-sama melayani negara. Perusahaan dituntut untung karena hasilnya untuk membiaya kepentingan publik luas, namun mengakomodir keinginan masyarakat juga adalah bagian dari pelayanan publik. Karenanya ketika terjadi resistensi, PT. Timah memang sebaiknya mengambil peran akomodatif, sembari membangun dialog.
Visi Hilirisasi
Sekian panjang perjalanan eksploitasi timah di Babel, sejak zaman kolonial, harapan terbesar saya sebenarnya adalah melihat hilirisasi timah. Seperti utopis, tapi sepanjang perusahaan bisa banting stir ke produksi hilir, akseptabilitas PT. Timah akan lebih baik. Faktanya bahwa ratusan tahun kita hanya mengekspor timah batangan, menghenyakkan nalar kita bahwa kita selalu menjadi supplier bahan mentah untuk industri manufaktur dunia.
Bayangan saya, andai saja PT. Timah dengan modal dan ekspansi bisnisnya bisa menggeser orientasi lebih variatif ke arah hilirisasi produktif, bukan hanya keuntungan akan melimpah, tapi dukungan masyarakat lokal juga akan menguat, apalagi keuntungan yang akan meningkat. Tentu memang butuh pengalihan fokus, butuh re-desain perencanaan, juga modal yang tak sediktapi bukankah itu berarti bahwa kita sedang bicara kemandirian bangsa dan kedaulatan manufaktur.
Karenanya, dalam rapat RUPS yang mungkin akan dilaksanakan beberapa waktu ke depan, saya berharap figur yang mampu melaksanakan hilirisasi, itulah yang terbaik. Yang punya visi hilirisasi. Tentu aset sumber daya lokal patut dipertimbangkan, namun kompetensi dan kapasitas visioner itu yang paling penting. Kita mendamba pimpinan yang mampu memikirkan aspek jangka panjang untuk daerah dan bangsa, yang tidak populis karena soal hitungan matematik keuntungan finansial saja, tapi figur yang mampu membangkitkan semangat nasionalisasi dan hilirisasi timah.
Penulis : DR Ibrahim, S.Fil, MSc
(Dosen Universitas Bangka Belitung)